###
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas karunia, hidayah dan nikmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Akhlak Bermasyarakat”. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu mata agama islam.
Makalah
ini ditulis dari hasil ungkapan pemikiran serta pendapat dari anggota kelompok yang bersumber dari internet, Al-quran, dan
buku sebagai referensi, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata
kuliah agama islam atas bimbingan dan arahan. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa
yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami
berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
semoga hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai cara menerita dan bertamu
serta hubungan dengan tetangga atau masyrakat yang baik dan benar menurut
agama, kami juga mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Demikan
makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi kami dan yang membacanya, sehingga,
menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Aamiin.
Yogyakarta ,
7 oktober 2015Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................................................................
I
DAFTAR ISI .........................................................................................................................................................................
II
BAB 1
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang1
2.Tujuan ...............................................................................................................................................................................
1
3.Manfaat .............................................................................................................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASANAkhlak Bertamu
1.Pengertian .......................................................................................................................................................................
2
2.Dalil Al-quran dan hadist bertamu ....................................................................................................................... 2
3.Etika Bertamu ...............................................................................................................................................................
3
4.Membiasakan akhlak bertamu ............................................................................................................................... 6
5.Hikmah .............................................................................................................................................................................
7
Akhlak
Menerima Tamu
1.Pengertian .......................................................................................................................................................................
8
2.Bentuk akhlak menerima tamu ............................................................................................................................. 8
3.Nilai positif ......................................................................................................................................................................
8
4.Membiasakan akhlak menerima tamu ............................................................................................................... 8
5.Etika Menerima Tamu ...............................................................................................................................................
9
Contoh perilaku bertamu dan menerima tamu ................................................................................................ 12
Hubungan baik dengan tetangga .............................................................................................................................. 15
Hubungan baik dengan masyarakat ....................................................................................................................... 16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................................................
18
B.Saran ................................................................................................................................................................................
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa
maupun bernegara kita sebagai umat yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi
dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah sepantasnya kita menmpilkan akhlak
mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliauyang
diridloi oleh Allah swt. Berperilaku dan berakhlak mulia di dalam bertetangga sangat
perlu untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sesama umat
yang seakidah kita perlu menjaga keharmonisan persaudaraan yang didasarkan atas
kesamaan di dalam berkeyakinan. Islam mengajarkan agar kita selalu menampilkan
kemuliaan akhlak dalam tetangga. Di samping itu kita juga harus menampilkan
akhlak yang mulia di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Tujuan
·
Untuk
memahami tata cara bertamau dan menirima tamu sesuai dengan syariat agama
·
Agar
dapat berhubungan baik dengan masyarakat
·
Bersosialisasi
di antara para tetangga dengan baik
3.
Manfaat
untuk meningkatkan derajat kehidupan
manusia, menuntun kepada kebaikan, memenuhi kebutuhan keluarga, mengatur tata
cara hidup bertetangga, mengatur adab pergaulan berbangsa dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
Akhlak Bertamu
1. Pengertian
Bertamu
adalah berkunjung ke rumah orang lain dalam rangka mempererat silahturrahim.
Maksud orang lain disini bisa tetangga, saudara (sanak famili), teman sekantor,
teman seprofesi, dan sebagainya. Bertamu tentu ada maksud dan tujuannya, antara
lain menjenguk yang sedang sakit, ngobrol-ngobrol biasa, membicarakan bisnis,
membicarakan masalah keluarga, dan sebagainya.
Tujuan
utama bertamu menurut islam adalah menyambung persaudaraan atau silaturrahim.
Silaturrahim tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara
seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang
tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain.
Mempererat
tali sillaturahim baik dengan tetangga, sanak keluarga, maupun teman sejawat
merupakan perintah agama islam agar senantiasa membina kasih sayang, hidup
rukun, tolong menolong, dan saling membantu antara yang kaya dengan yang
miskin.
Silahturahim
tidak saja menghubungkan tali persaudaraan, tetapi juga akan banyak menambah
wawasan ataupun pengalaman karena bisa saja pada saat berinteraksi terjadi
pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan masalah-masalah perdagangan baru
tentang bagaimana caranya mendapatkan rezeki, dan sebagainya.
Apabila
manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan,
maka ikatan sosial masyarakat akan berantakan, kerusakan menyebar di setiap
tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan.
Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang
tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan
dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.
“ Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisa’ : 1)
2. Dalil Al
Qur’an dan Hadist bertamu
Sahabat Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda:
لاَ
تَأتُوا
الْبُيُوْتَ
مِنْ
أَبْوَابِهَا
وَلَكِنَّ
أئتُوْهَا
مِنْ
جَوَانَبِهَا
فَاسْتَأْذِنُوا٬
فَإِنْ
أَذِنَ
لَكُمْ
فَادْخُلُوا
وَإلاَّ
فَارْجِعُوا٠
"Janganlah kalian
mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari
samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika
tidak, pulanglah." (HR. Tabrani)
Dalam
hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu
dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang
semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah
tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya
dilihat orang lain.
Bisa
jadi tuan rumah baru berpakaian rumah yang transparan, atau boleh jadi sedang
sibuk bekerja sehingga perlu bersisir. Atau mungkin peralatan rumah tangga
semrawut sehingga perlu dirapikan dan diatur lebih dahulu.
Karenanya
bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan mengkorek keburukan dan aurat.
Padahal yang demikian dilarang dalam Islam. Karenanya Nabi saw memerintahkan
agar kita tidak mendatangi rumah dari depan pintu, namun lewat samping pintu,
kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan penuh kesopanan.
Etika
bertamu selanjutnya adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. Jika
diijinkan maka kita masuk, jika tidak maka pulanglah. Diijinkan masuk, tandanya
dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak
diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain,
atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti
batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain.
Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika
tidak dibukakan hendaklah kita pulang.
3. Etika
Bertamu
·
Meminta
izin masuk maksimal sebanyak tiga kali
Dalam
hal ini (memberi salam dan minta izin), sesuai dengan poin pertama, maka
batasannya adalah tiga kali. Maksudnya adalah, jika kita telah memberi salam
tiga kali namun tidak ada jawaban atau tidak diizinkan, maka itu berarti kita
harus menunda kunjungan kita kali itu. Adapun ketika salam kita telah dijawab,
bukan berarti kita dapat membuka pintu kemudian masuk begitu saja atau jika
pintu telah terbuka, bukan berarti kita dapat langsung masuk. Mintalah izin
untuk masuk dan tunggulah izin dari sang pemilik rumah untuk memasuki rumahnya.
Hal ini disebabkan, sangat dimungkinkan jika seseorang langsung masuk, maka
‘aib atau hal yang tidak diinginkan untuk dilihat belum sempat ditutupi oleh
sang pemilik rumah.
“jika
kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka
hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS An Nur : 28).
Hadis Riwayat Abu Musa Al-Asy’ary ra, dia berkata: “Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk
rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka
pulanglah!’” (HR. Bukhari dan Muslim)
·
Berpakaian
yang rapi dan pantas
Bertamu
dengan memakai pakaian yang pantas berarti menghormati tuan rumah dan dirinya
sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh tuan
rumah, demikian pula sebaliknya. Firman Allah,
“Jika kamu berbuat baik
(berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat
maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri….” (QS. Al Isra : 7)
·
Memberi
isyarat dan salam ketika datang
Firman Allah :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu
lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nur : 27)
Sabda Nabi,
اِنَّ
رَجُلاً
اِسْتَأْذَنَ
عَلى
النَّبِيِّ
ص
م
وَ
هُوَ
فِى
بَيْتٍ
فَقَالَ
: “اَلِجُ” فَقَالَ
النَّبِيُّ
ص
م
لِجَادِمِهِ
: اُخْرُجْ اِلَى
هَذَا
فَعَلِّمْهُ
الاِسْتِأْذَانَ
فَقَلَ
لَهُ
: قُلْ “السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ
اَ
اَدْخُلْ” فَسَمِعَهُ
الرِّجَلْ
فَقُلْ
“السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
اَ
اَدْخُلْ” فَاَذِنَ
النَّبِيُّ
ص
م
قَدْ
دَخَلَ
(رواه ابو
داود)
“Bahwasanya seorang laki-laki meminta izin ke
rumah Nabi Muhammad SAW sedangkan beliau ada di dalam rumah. Katanya: Bolehkah
aku masuk? Nabi SAW bersabda kepada pembantunya: temuilah orang itu dan ajarkan
kepadanya minta izin dan katakan kepadanya agar ia mengucapkan “Assalmu alikum,
bolehkah aku masuk” lelaki itu mendengar apa yang diajarkan nabi, lalu ia
berkata “Assalmu alikum, bolehkah aku masuk?” nabi SAW memberi izin kepadanya
maka masuklah ia.”
(HR Abu Daud)
Sebagaimana juga terdapat dalam hadits dari Kildah ibn
al-Hambal radhiallahu’anhu, ia berkata,
“Aku mendatangi Rasulullah
lalu aku masuk ke rumahnya tanpa mengucap salam. Maka Rasulullah bersabda,
‘Keluar dan ulangi lagi dengan mengucapkan ‘assalamu’alaikum’, boleh aku
masuk?’”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi berkata: Hadits Hasan)
·
Jangan
mengintip ke dalam rumah
Mengintip
ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran apakah ada orang di
dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
mencela perbuatan ini dan memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana
dalam sabdanya :
“Dari Sahal bin
Saad ia berkata: Ada seorang lelaki
mengintip dari sebuh lubang pintu rumah Rasulullah SAW dan pada waktu itu
beliau sedang menyisir rambutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku tahu
engkau mengintip, niscaya aku colok matamu. Sesungguhnya Allah
memerintahkanuntuk meminta izin itu adalah karena untuk menjaga pandangan mata.”
(HR Bukhari)
·
Memperkenalkan
diri sebelum masuk
Apabila
tuan rumah belum tahu/belum kenal, hendaknya tamu memperkenalkan diri secara
jelas, terutama jika bertamu pada malam hari. Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
“dari Jabir ra Ia berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu aku
mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “Siapakah itu?” Aku menjawab:
“Saya” Beliau bersabda: “Saya, saya…!” seakan-akan beliau marah” (HR Bukhari)
·
Tamu
lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
Dalam
hal ini, perempuan yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak memberi
izin masuk tamunya. Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah sedangkan ia
hanya seorang diri sama halnya mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Oleh
sebab itu, tamu cukup ditemui diluar saja.
·
Masuk
dan duduk dengan sopan
Setelah
tuan rumah mempersilahkan untuk masuk, hendaknya tamu masuk dan duduk dengan
sopan di tempat duduk yang telah disediakan. Tamu hendaknya membatasi diri,
tidak memandang kemana-mana secara bebas. Pandangan yang tidak dibatasi
(terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu
dapat dinilai sebagai orang yang tidak sopan, bahkan dapat pula dikira sebagai
orang jahat yang mencari-cari kesempatan. Apabila tamu tertarik kepada sesuatu
(hiasan dinding misalnya), lebih ia berterus terang kepada tuan rumah bahwa ia
tertarik dan ingin memperhatikannya.
·
Menerima
jamuan tuan rumah dengan senang hati
Apabila
tuan rumah memberikan jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan tersebut dengan
senang hati, tidak menampakkan sikap tidak senang terhadap jamuan itu. Jika
sekiranya tidak suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berterus terang bahwa
dirinya tidak terbiasa menikmati makanan atau minuman seperti itu. Jika tuan
rumah telah mempersilahkan untuk menikmati, tamu sebaiknya segera menikmatinya,
tidak usah menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya.
Mulailah makan dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah.
Rasulullah bersabda : “Jika seseorang diantara kamu hendak makan
maka sebutlah nama Allah, jika lupa menyebut nama Allah pada awalnya, hendaklah
membaca: Bismillahi awwaluhu waakhiruhu.” ( HR Abu Daud dan Turmudzi)
·
Makanlah
dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memilih
Islam
telah memberi tuntunan bahwa makan dan minum hendaknya dilakukan dengan tangan
kanan, tidak sopan dengan tangan kiri (kecuali tangan kanan berhalangan). Cara
seperti ini tidak hanya dilakukan saat bertamu saja. Mkelainkan dalam berbagai
suasana, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain.
·
Bersihkan
piring, jangan biarkan sisa makanan berceceran
Sementara
ada orang yang merasa malu apabila piring yang habis digunakan untuk makan
tampak bersih, tidak ada makann yang tersisa padanya. Mereka khawatir dinilai
terlalu lahap. Islam memberi tuntunan yang lebih bagus, tidak sekedar mengikuti
perasaan manusia yang terkadang keliru. Tamu yang menggunakan piring untuk
menikmati hidangan tuan rumah, hendaknya piring tersebut bersih dari sisa
makanan. Tidak perlu menyisakan makanan pada pring yang bekas dipakainya yang
terkadang menimbulkan rasa jijik bagi yang melihatnya.
·
Segeralah
pulang setelah selesai urusan
Kesempatan
bertamu dapat digunakan untuk membicarakan berbagai permasalahan hidup. Namun
demikian, pembicaraan harus dibatasi tentang permasalahan yang penting saja,
sesuai tujuan berkunjung. Hendaknya dihindari pembicraan yang tidak ada ujung
pangkalnya, terlebih membicarakan orang lain. Tamu yang bijaksana tidak suka
memperpanjang waktu kunjungannya, ia tanggap terhadap sikap tuan rumah. Apabila
tuan rumah tekah memperhatikan jam, hendaknya tamu segera pamit karena mungkin
sekali tuan rumah akan segera pergi atau mengurus masalah lain. Apabila tuan
ruamh menghendaki tamunya untuk tetap tinggal dahulu, hendaknya tamu
pandai-pandai membaca situasi, apakah permintaan itu sungguh-sungguh atau hanya
sekadar pemanis suasana. Apabila permintaan itu sungguh-sungguh maka tiada
salah jika tamu memperpanjang masa kunjungannya sesuai batas kewajaran.
·
Lama
Waktu Bertamu Maksimal Tiga Hari Tiga Malam
Terhadap
tamu yang jauh tempat tinggalnya, Islam memberi kelonggaran bertamu selama tiga
hari tiga malam. Waktu twersebut dikatakan sebagai hak bertamu. Setelah waktu
itu berlalu maka habislah hak untuk bertamu, kecuali jika tuan rumah
menghendakinya. Dengan pembatasan waktu tiga hari tiga malam itu, beban tuan
rumah tidak telampau berat dalam menjamu tamunya.
4. Membiasakan
Akhlak Bertamu
Bertamu
merupakan tradisi masyarakat yang selalu dilestarikan. Dengan bertamu seorang
bias menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja ama untuk meringankan
berbagai maalah yang dihadapi dalam kehidupan.adakalanya seorang bertamu karena
adanya urusan yang serius, mialnya untuk mencari solusi terhadap problema
masyarakat actual, sekedar bertandang, karena lama tidak ketemu (berjumpa)
ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertangang ke rumah kerabat atau
sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun ahabat dapat tersalurkan,
sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.
Tujuan
bertamu tentu untuk menjalin persaudaraan ataupun perahabatan. Sedangkan
bertamu kepadea orang yang belum dikenal, memiliki tujuan untuk saling
memperkenalkan diri ataupun bermaksud lain yang belu diketahui kedua belah
pihak.
Bertamu
merupakan kebiasaan positif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman
tradisional sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiaaan kunjung
mengunjungi, maka segala persoalan mudah dilestarikan, segala urusan mudah
diberskan dan segala masalah mudah diatasi.
Al
Qur’an memberikan isyarat yang tegas, betapa pentingnya setiap orang yang bertemu
dapat nejaga diri agar tetap menghormati tuan rumah. Setiap tamu haru berusaha
menahan segala keinginan dan kehendaknya baiknya sekalipun, jika tuan rumah
tidak berkenan menerimanya. Demikin pula apabila kegiatan bertamu telah uai,
maka seorang yang bertamu telah usai, maka seorang yang bertamu harus
meninggalkan kesan yang beik dan menyenagkan bagi tuan rumah. Karena itu haram
hukumnya orang yang bertamu meninggalkan kekecewaan ataupun kesusahan bagi tuan
rumah.
5. Hikmah
Ø Bertamu secara baik dapat menumbuhkan
sikap toleran terhadap oaring lain dan menjauhkan sikap pakaan, tekanan, dan
intimidasi. Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam usaha
meyakinkan orang lain terhadap tujuan dan maksud beik kedatangan, tetapi juga
dalam tindak laku dan pergaulan dengan sesame manuia harus terhindar cara-cara
pakaan dan kekerasan.
Ø Dengan bertamu seorang akan
mempertemukan persamaan ataupun kesesuaian sehingga akan terjalin persahabatan
dan kerjasama dalam menjalin kehidupan.
Ø Bertamu dianggap sebagai
sarana yang efektif untuk berdakwah dan menciptakan kehidupan mesyarakat yang
bermartabat.
Akhlak Menerima Tamu
1. Pengertian
Akhlak Menerima Tamu
Menurut
KBBI, menerima tamu diartikan kedatangan orang-orang bertamu, melawat atau
berkunjung. Secara istilah, menerima tamu dimaknai menyambut tamu dengan
berbagai cara penyambutan yang lazim dilakukan menurut adat ataupun agama
dengan maksud untuk menyenangkan atau memuliakan tamu, atas dasar keyakinan
untuk menda-patkan rahmat dan rido dari Alloh.
2. Bentuk
Akhlak Menerima Tamu
Islam
sebagai agama yang sangat serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang
bertamu. Sesungguhnya orang yang bertamu telah dijamin hak-haknya dalam Ialam.
Karena itu menerima tamu merupakan perintah yang mendatangkan kemuliaan di
dunia dan akhirat, dan Rosululloh SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik dengan tetangganya.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hen-daklah ia memuliakan
tamunya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia
berkata yang baik dan diam” (H.R. Muslim)
3. Nilai Positif
Akhlak Menerima Tamu
Setiap
orang Islam telah diikat oleh suatu Tata aturan supaya hidup bertetengga dan
bersahabat dengan orang lain, sekalipun berbeda agama ataupun suku. Hak-hak
mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian
yang mengikat di antara sesama manusia.
Memuliakan
tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kemas-lahatan dari
Allah ataupun makhluk Nya karena sesungguhnya orangyang berbuat baik akan
mendapatkan kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Memuliakan tamu dengan
peny-ambutan yang menyenangkan dapat membina diri dan menunjukan kepribadian
utama.
4. Membiasakan
Akhlak Menerima Tamu
Menerima
tamu merupakan bagian dari aspek social dalam ajaran Islam yang harus terus
dijaga. Menerima tamu dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan
menunjukan kualitas kepribadian seorang muslim. Seorang muslim harus
membiasakan diri untuk menyambut setiap tamu yang datang dengan penyambutan
yang penuh suka cita.
Agar
dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah harus mengha- dirkan tamu
pikiran yang positif terhadap tamu, jangan sampai kehadiran tamu disertai
dengan munculnya pikiran negative dari tuan rumah. Sebagai tuan rumah harus
sabar dalam menyambut tamu yang datang apapun keadaanya, pada kenyataanya
sering meng-ganggu aktivitas yang sedang kita serius. Jangan sampai seorang
tuan rumah menunjukan sikap yang kasar ataupun mengusir tamunya.
Seorang muslim harus menunjukan sikap yang
baik terhadap tamunya mulai dari keramahan diri dalam menyambut tamu,
menyediakan sarana dan pasarana penyambutan yang memadai, serta memberikan
jamuan makan dan minum yang memenu hi selera tamu. Syukur sekali menyediakan
hidangan yang lezat yang menjadi kesukaan tamu yang datang. Jika hal tersebut
dapat dilakukan secara baik, maka akan menjadi tolak ukur kemuliaan tuan rumah.
5. Etika
Menerima Tamu
Dalam
ajaran Islam istilah ”Tamu adalah raja” ini merupkan inti dari ajaran islam itu
sendiri dan barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan
usianya, maka hendaklah menyambungkan tali silaturrahim.
Tuan
rumah (Shohibul bait) dalam menerima tamu hendaknya mempunyai etika-etika (adab)
dalam menerima tamu sesuai dengan ajaran islam. Yaitu seperti :
·
Hendaknya
Menunjukkan Wajah Kegembiraan
Tuan
rumah hendaknya menunjukkan wajah kegembiraan. Jika ketika itu tuan rumah
sedang mempunyai masalah yang merisaukan hendaknya kerisauan itu tidak
ditampakkan kepada tamu. Jika kekesalan itu tertuju kepada orang yang datang
bertamu, hendaknya usahakan tetap bisa bersikap ramah, karena berlaku tidak
ramah kepada tamu, misalnya menampilkan wajah cemberut atau secara sengaja
tidak berbicara atau berbicara sangat singkat, berlawanan dengan muru`ah tuan
rumah yang justru harus dijaga.
·
Menjawab
Salam
Menjawab
salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah Rosulullah saw
dan menunaikan hak sesama muslim. Dan menjawab salam itu sendiri hukumnya
adalah wajib. Dan jika yang bertamu itu ahli kitab (orang Non-Muslim) yang
mengucapkan salam, maka jawabannya cukup hanya dengan ucapan "alaik"
atau "alaikum" saja.
·
Berjabat
Tangan
Ketika
bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat tangan
sebagaimana amalan para sahabat Nabi. Keutamaan Berjabat Tangan :
Dari
al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ
مُسْلِمَيْنِ
يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ
إِلاَّ
غُفِرَ
لَهُمَا
قَبْلَ
أَنْ
يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim
saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa)
mereka berdua sebelum mereka berpisah.“
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat
tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan
kesepakatan para ulama, bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat
ditekankan).
Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:
§ Arti mushaafahah (berjabat
tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu
tangan kanan, dari kedua belah pihak. Cara berjabat tangan seperti ini
diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan”
secara bahasa. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang
menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
§ Berjabat tangan juga
disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh
syaikh al-Albani. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika
berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki
dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat
tangan ketika bertemu.
§ Berjabat tangan adalah
ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di
selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah
menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan
bid’ah. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz
bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin
al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain.
§ Adapun berjabat tangan
setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat
lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat
tangan karena bertemu dan bukan karena shalat.
§ Mencium tangan seorang
guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
a) Tidak menjadikan hal itu
sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering
melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi
jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang
guru.
b) Perbuatan itu tidak
menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang
lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
c) Jangan sampai hal itu menjadikan
kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu,
yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas.
·
Bersikap
simpatik
Selain
menyambut tamu dengan wajah ceria di awal kehadirannya, dan mengajaknya bicara
dengan tutur kata yang baik dan sopan. Imam Al Auza`i mengatakan bahwa:
”Memuliakan
tamu itu adalah (sekurang-kurangnya) menunjukkan wajah ceria dan baik tutur
kata”.
Tradisi
masyarakat beradab sejak zaman Nabi saw dalam menjamu tamu selalu ada unsur
obrolan, luwes, simpatik dan ramah tamah. Dan sekiranya kita sebagai tuan rumah
mempersilahkan tamunya seperti layaknya rumah sendiri, sehingga tidak layak
bagi tuan rumah untuk menyuruh tamu melayani dirinya.
·
Memberi
Hidangan
Ketika
tamu itu duduk, hendaklah menyuguhkan minuman agar tamu merasa nyaman karena
penghormatan kita. Dan jika telah selesai janganlah terburu-buru mengangkat
hidangan dari meja tamu sebelum tamu benar-benar menyelesaikan makanannya dan
membersihkan tangannya. Jika kita termasuk dalam keadaan golongan orang yang
kurang mampu, hendaknya hidangkan kepada tamu kita seadanya saja meskipun itu
hanya air putih. Jika tamu berpamitan hendaknya tuan rumah mengantar sampai ke
luar rumah.
·
Jangan
Membebani Tamu
Janganlah
seorang tuan rumah membebani tamu untuk membantu, kerana hal ini bertentangan
dengan kewibawaan dan jangan menampakkan kejemuan terhadap tamu, tetapi
menampakkan kegembiraan dengan kehadiran mereka, bermuka manis dan berbicara
ramah dan ceria.
·
Boleh
Menanyakan Siapa Namanya
Jika
yang bertamu adalah orang yang belum kita kenal sama sekali, dan dia meminta
izin untuk masuk, maka kita boleh menanyakan namanya sambil berjabat tangan
seraya mengenalkan diri. Karena berjabat tangan dengan sesama muslim hikmahnya
banyak yaitu diantarnya dapat melapangkan dada, mempererat ukhuwah dan dapat
menghapus dosa selama belum berpisah.
·
Boleh
Menolak Tamu
Sebagai
tuan rumah kita diberi kuasa oleh Allah SWT untuk menentukan sikap terhadap
tamu. Apakah kita akan menolak tamu tersebut atau menerimanya, jika kita
menolak karena suatu hal maka hendaknya bicara jujur dan menyampaikan udzurnya
dengan akhlak yang baik.
Dari Abu Hurairah Nabi berkata:
"… barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tamunya, dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bicara
yang benar atau diam.”
·
Boleh
Saling Berpelukan
Jika
tamu kita adalah orang yang bertempat tinggal jauh sekali, bisa dikatakan bahwa
tamu kita tersebut hanya bersilaturrahim tiap Idul Fitri saja, maka ketika tamu
tersebut berpamitan kita boleh saling berpelukan. Berpelukan dengan tamu yang
datang dari bepergian, pada asalnya dibolehkan, karena banyak sahabat yang
mengamalkannya. Imam Ahmad, Abu Ja’far At-Thohawi berkata:
Ulama berselisih pendapat dalam hukum berpelukan. Ada
yang membolehkan dan ada yang melarang. Mereka yang membolehkan berdalil dengan
riwayat dari Sya’bi dengan sanadnya:
“Sesungguhnya
sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan dan bila
datang dari bepergian mereka berpeluk-pelukan. “
Dari
Abu Ja’far dia berkata: Ketika aku datang menghadap Rosululloh dari Najasi beliau
menjumpaiku lalu memelukku.
Dari
Ummu Darda’ dia berkata : Ketika Salman tiba, dia bertanya “Dimana saudaraku?”
Lalu aku menjawab: “Dia di masjid”, lalu dia menuju ke masjid dan setelah
melihatnya, dia memeluknya,
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan
pula.
Kesimpulannya: Pada mulanya dilarang berpeluk-pelukan
kemudian atsar berikutnya membolehkan.
Muhammad Al-Mubarokfuri berkata:
“Adapun
penggabungan hadits antara Riwayat Anas yang menerangkan tidak disyari’atkannya
berpelukan, dengan riwayat Aisyah yang membolehkannya, maka riwayat Aisyah
mertunjukkan kekhususan ketika datang dari bepergian. Wallohu a’lam.”
Kami
tambahkan pula bahwa bab berpelukpelukan ini dikutip pula oleh Imam Bukhori di
dalam kitab shohihnya, Imam Tirmidzi di dalam kitab Jami’nya dan Abu Dawud di
dalam kitab Sunannya yaitu Kitab Al-Isti’dzan wal Adab, silakan menelaahnya.
Walhasil,
berpelukan dengan tamu yang baru datang dari bepergian jauh dibolehkan asal
sesama jenis. Sebagaimana yang pernah diamalkan oleh para sahabat. Wallohu
a’lam.
Contoh
Perilaku yang Baik dalam Bertamu dan Menerima Tamu
o Bertamu
Sebelum
memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin
dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah.
Manakah
yang lebih dahulu dilakukan, meminta izin atau mengucapkan salam? Ada beberapa
pendapat ulama tentang hal ini, yang pertama meminta izin dan mengucapkan salam
dan yang kedua sebaliknya. Mayoritas ahli fiqh berpendapat yang ke dua. Mereka
berargumentasi dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah SAW riwayat
Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Ad al-Bar yang sekalipun
dengan redaksi yang berbeda-beda tapi semuanya menyatakan bahwa mengucapkan
salam lebih dahulu dari meminta izin (as-salam qabl al-kalam).
Sementara
itu ulama lain juga ada yang mengkompromikan dua pendapat di atas dengan
menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia
mengucapkan salam terlebih dahulu. Tapi bila tidak melihat siapa-siapa maka
hendaklah dia meminta izin terlebih dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih
oleh al-Mawardi.
Meminta
izin bisa dengan kata-kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan
tombol bel atau cara-cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat.
Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut
Rasulullah SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak
ada jawaban seyogyanya yang akan bertamu kembali pulang. Jangan sekali-kali
masuk rumah orang lain tanpa izin, karena di samping tidak menyenangkan bahkan
mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Jika
seseorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan,
maka hendaklah dia kembali.”
[HR. Bukhari Muslim]
Kenapa
meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai
pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua memberikan
kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap-siap atau menyiapkan segala
sesuatu yang diperlukan [boleh jadi ada meja atau kursi atau pakaian yang perlu
dirapikan], ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju
pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada
kemungkinan tidak ada orang di rumah, atau penghuni rumah tidak bersedia
menerima tamu.
Tamu
tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga,
karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Setiap orang diberi hak privasi
di rumahnya masing-masing. Tidak seorangpun boleh mengganggunya. Tuan rumah sekalipun
dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak untuk
menolah kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap dikunjungi.
Menurut
ungkapan Al-Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah,
atau ditolak oleh tuan rumah, lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih
menjaga nama baik dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus untuk
bertamu, dia akan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal
tidak ada orang di rumah, bisa-bisa dia dituduh bermaksud mencuri. Kedua-duanya
merugikan nama baiknya. Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat 28 yang
artinya:
“Jika
kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah” maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
[QS. An-Nur 24: 28]
Di
samping meminta izin dan mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatikan
oleh setiap orang yang bertamu adalah sebagai berikut:
Ø Jangan bertamu sembarang
waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah diperkirakan tidak
akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau waktu tidur.
Ø Kalau diterima bertamu,
jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan selesai
segeralah pulang.
Ø Jangan melakukan kegiatan
yang membuat tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa ruangan dan perabotan,
memasuki ruang2 pribadi tanpa izin, atau menggunakan fasilitas-fasilitas yang
ada dalam rumah tanpa izin penghuni rumah. Diizinkan masuk rumah tidak berarti
diizinkan segala-galanya.
Ø Kalau disuguhi minuman atau
makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah SAW menganjurkan kepada orang
yang berpuasa sunnah sebaiknya membukai puasanya untuk menghormati jamuan [HR.
Baihaqi].
Ø Hendaklah pamit waktu mau
pulang. Meninggalkan rumah tanpa izin di samping tidak terpuji, juga mengundang
fitnah.
o Menerima Tamu
Menerima
dan memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah
satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW
mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari
Akhir. Beliau bersabda yang artinya:
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia
memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”
[HR. Bukhari dan Muslim]
Memuliakan
tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan
tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik.
Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu dijaga
kerapian dan keasriannya.
Kalau
tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima
dan menjamunya maksimal tiga hati tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah
kepada tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW,
hari pertama dengan hidangan istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan
rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu menggunakan jamuan
yang sama dengan keseharian yang dimakan tuan rumah. Menjamu tamu lebih dari
tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Menjamu
tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk
tamu di atas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap
[lebih dari tiga hari] karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.”
[HR. Tirmidzi]
Menurut
Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan
menjamu tamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
Sedangkan
menurut Ibn al-Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah
memberikan bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari semalam. Dalam konteks
perjalanan di padang pasir, diperlukan bekal minimal untuk sehari semalam
sampai bertemu dengan tempat persinggahan berikutnya.
Kedua
pemahanan di atas dapat dikompromikan dengan melakukan kedua-duanya apabila
memang tamunya membutukan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimanapun
bentuknya, substansinya tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu
sedemikian rupa.
Hubungan baik dengan tetangga
Sesudah anggota keluarga sendiri,
orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan
paling dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya. Jika kita tiba-tiba
ditimpa musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang
takziah. Begitu juga apabila kita mengadakan suatu acara maka tetanggalah yang
pertama datang membantu dibandingkan family kita yang rumahnya lebih jauh.
Kepada tetangga pulalah kita menitipkan rumah kita disaat kita sedang bepergian
jauh ke luar kota. Rasulullah saw juga mengatakan bahwa tetangga yang baik
adalah salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup:
“Di antara yang membuat
bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang, dan kendaraan
yang nyaman.” (HR. Hakim)
Baik
buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung juga bagaimana sikap kita
terhadap mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nyadengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan
diri.” (QS An-Nisa’:36)
Dengan
varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat diklasifikasikan menjadi
tiga. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga. Mereka
adalah tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua, tetangga yang
punya dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah tetangga yang
seagama. Ketiga, tetangga yang punya tiga hak, yaitu hak tetangga, seagama dan
famili. Mereka adalah tetangga yang seagama dan punya hubungan kekeluargaan.
Tetangga yang punya hak lebih banyak, lebih berhak mendapatkan kebaikan dari
kita.
·
Pentingnya
hubungan baik dengan tetangga
Rasulullah
saw menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran keimanan seseorang
kepada Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Demi Allah, dia tidak
beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!”
Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (H.
Mutafaqun ‘Alaih)
“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman
dari keburukannya.” (HR. Muslim)Semakin kuat iman seseorang, semakin baik dia
dengan tetangganya, begitu pula sebaliknya.
·
Bentuk-bentuk
hubungan baik dengan tetangga
Minimal
hubungan baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau
menyusahkan mereka. Yang lebih baik lagi tidak hanya sekedar menjaga jangan
sampai tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat baik kepada mereka.
Misalnya dapat dengan bertegur sapa, memberikan pertolongan disaat tetangga
butuh pertolongan dan lain sebagainya.
Rasulullah saw bersabda:
“Hak tetangga itu ialah,
apabila ia sakit kamu menjenguknya, apabila ia meninggal, kamu mengiringi
jenazahnya, apabila ia membutuhkan sesuatu, kamu meminjaminya, apabila ia tidak
memiliki pakaian kamu memberinya pakaian, apabila dia mendapat kebajikan kamu
mengucapkan selamat kepadanya, apabila ia mendapat musibah, kamu bertakziah
kepadanya, jangan engkau meninggikan rumahmu atas rumahnya sehingga angin
terhalang masuk rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu
kecuali kamu memberikan sebagian dari masakan itu.” (HR. Thabrani)
Seorang
muslim harus peduli dan memperhatikan tetangganya. Jangan sampai terjadi
seseorang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits:
“Tidaklah beriman kepadaku
orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya kelaparan,
padahal dia mengetahui.”
(HR. Bazzar)
Hubungan baik dengan masyarakat
Selain
dengan tamu dan tetangga, seorang Muslim harus dapat berhubungan baik dengan
masyarakat yang lebih luas, baik di lingkungan pendidikannya, lingkungan
kerjanya, baik dengan sesama Muslim maupun dengan non-muslim.
Hubungan
baik dengan masyarakat diperlukan, karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup
tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah
manusia. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan
dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, agar mereka
saling kenal.
·
Kewajiban
sosial sesama Muslim
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menyebutkan ada
lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya. Beliau bersabda:
“Kewajiban seorang Muslim
atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, mengunjungi orang sakit,
mengiringkan jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR.
Khamsah)
1. Menjawab
salam
Mengucapkan
dan menjawab salam hukumnya berbeda. Mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib,
karena tidak menjawab salam yang diucapkan, tidak hanya dapat mengecewakan
orang yang mengucapkannya tetapi juga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Allah
SWT berfirman:
“Apabila kamu dihormati
dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,
atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala
sesuatu.” (QS An-Nisa’: 86)
2. Mengunjungi
orang sakit
Menurut
Rasulullah saw, orang-orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila
salah satu anggota tubuh sakit, yang lain ikut prihatin. Kunjungan teman,
saudara, adalah ‘obat yang mujarab’ bagi si sakit. Dia merasa senang karena
masih ada sahabat untuk berbagi duka.
3.
Mengiringkan jenazah
Apabila
seseorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan,
mengkafani, menyalatkan, dan menguburkannya. Rasulullah saw sangat menganjurkan
kepada masyarakat untuk dapat menyalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan
bersama-sama. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang
menyaksikan jenazah lalu ikut menyalatkannya, baginya satu qirath. Dan
barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath.”
Ditanyakan orang: “Apa itu dua qirath?” Beliau bersabda: “Seperti dua gunung
yang besar (pahalanya).” (H. Mutafaqun ‘Alaih)
Mengantarkan
jenazah sampai ke kuburan dapat mengurangi kedukaan keluarga yang ditinggalkan,
juga dapat mengingatkan kita akan kematian yang pasti akan datang.
4. Mengabulkan
undangan
Seorang
muslim sangat dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya selama
tidak ada halangan, dan acara tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam.
5. Menyahuti
orang bersin
Orang
yang bersin disunatkan membaca Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, karena
biasanya bersin merupakan pertanda badan ringan dari penyakit. Bagi yang
mendengar seseorang bersin, diwajibkan menyahutinya dengan membaca
yarhamukallah (mendo’akan semoga Allah mengasihinya). Orang yang tadi bersin
menjawab pula, yahdikumullah wa yushlih balakum (semoga Allah menunjuki dan
memperbaiki keadaanmu). Namun jika yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillah,
kita tidak boleh menyahutinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka
kami dapat menyimpulkan bahwa:
Akhlak secara bahasa adalah budi pekerti atau
perangai. Sedangkan menurut istilah ialah suatu pengetahuan yang menjelaskan
arti baik buruk, tujuan perbuatan, dan juga sebagai pedoman yang harus diikuti
untuk menjadi syarat terbentuknya masyarakat yang baik lagi islami. Akhlak
bertujuan untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna,
dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Bahwa akhlak yang baik itu
sangat berperan penting dalam membangun peradaban dalam bermasyarakat. Akhlak itu dapat mengantarkan seorang hamba
dekat dengan Tuhannya, orang yang suka berderma akan dekat dengan Allah, dekat
dengan Syurga, dekat dengan manusia, serta jauh dari neraka. Maka dari itu,
kita harus memahami pentingnya peranan akhlak dalam bermasyarakat menurut
pandangan agam Islam. Manusia juga merupakan makhluk sosial, manusia tidak akan
bisa hidup atau bertahan hidup tanpa bantuan orang lain, itulah mengapa manusia
di sebut sebagai makhluk sosial.
B. Saran
Penulis
menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah agama dengan
pokok bahasan mengenai “Pentingnya peranan akhlak dalam bermasyarakat”, maka
penulis akan menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
Ø Sebagai manusia kita memang
tidak akan pernah luput dari kesalahan. Namun, betapa ruginya kita terlahir ke
dunia ini bila hanya dihabiskan untuk melakukan hal-hal buruk apalagi sampai
menggangu keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi antar sesama manusia. Oleh
karena itu, alangkah baiknya bila kita berinteraksi sesama makhluk-Nya dengan
didasari oleh akhlak yang baik.
Ø Sebagai seorang muslim, kita
tentunya diwajibkan untuk berakhlak yang baik bukan hanya kepada sesama muslim
saja, akan tetapi juga kepada mereka-mereka yang tidak seagama dengan kita.
Ø Sebagai manusia muslim yang
beriman hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sudah sepatutnya kita berakhlak
yang baik kepada sesama makhluk-Nya, terlebih lagi kepada Allah SWT. Sebagai
pencipta kita.
Demikianlah
makalah ini dibuat, kami dari kelompok 8 memohon maaf apabila terdapat
penulisan serta tutur kata yang tidak benar, karena kami hanya manusia biasa
yang tak luput dari kesalahn, dan kami akan berusaha sebaik mungkin untuk
memperbaiki kesalahan tersebut. Lebih dan kurangnya kami mohon maaf.
Terimakasih
No comments:
Post a Comment