Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Akhlak Pribadi II yang berisikan Iffah,
Mujahadah, Syaja’ah, dan Tawadhu’ ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. Edy Musoffa selaku
Dosen mata kuliah Agama Islam STMIK AMIKOM yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Akhlak Pribadi yaitu Iffah,
Mujahadad, Syaja’ah, dan Tawadhu’. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Yogyakarta, 9 Oktober 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.1.
Latar Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang
sangat erat kaitannya, karena
agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia memiliki pegangan hidup
sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam.
Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan
lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan
bahagia. Dalam makalah yang kami buat kali ini akan membahas tentang Iffah,
Mujahadah, Syaja’ah, dan Tawadhu’.
1.1.2.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah “Akhlak Pribadi”.
Untuk
memberikan kejelasan makna serta meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini
masalahnya dibatasi pada :
1. Iffah
2. Mujahadah
3. Syaja’ah
4. Tawadhu’
BAB II
2.1.1.
Pengertian
Iffah
Secara
etimologis, ‘iffah adalah bentuk masadar dari affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak baik.
Secara
terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan
merendahkan, merusak dan menjatuhkannya.
Oleh
sebab itu, untuk menjaga kehormatan diri tersebut, setiap orang haruslah
menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang oleh Allah
SWT. Dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya.
2.1.2.
Bentuk-bentuk
Iffah
Al-Qur’an
dan hadistmemberikan beberapa contoh dari iffah sebagai berikut :
1. Untuk
menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual, seorang muslim
dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan pakaiannya.
Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya, dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan.
2. Untuk
menjaga kehormatan diri dengan hubungannya dengan masalah harta, Islam
mengajarkan, terutama bagi orang miskin untuk tidak merendahkan tangan
meminta-minta. Al-Qur’an menganjurkan kepada orang-orang berpunya untuk
membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap iffah
mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 273 :
“(Berfikirlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di
jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kayak arena mereka memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkah di jalan
Allah maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
3. Untuk
menjaga kehormatan diri dalam dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain
kepada dirinya, seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk
ketidakjujuran. Sekali-kali jangan dia berkata bohong, ingkar janji, khianat
dan lain sebagainya.
3.1.1.
Pengertian
Mujahadah
Istilah
mujahadah berasal dari kata jàhada-yujàhidu-mujàhadah-jihàd
yang berarti mencurahkan segala kemampuan (badzlu
al-wus’i). dalam konteks akhlaq, mujahadah adalah mencurahkan segala
kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri
terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun yang eksternal.
Untuk mengatasi dan melawan semua
hambatan (internal dan eksternal) tersebut diperlukan kemauan keras dan
perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan yang sungguh-sungguh itulah yang
disebut mujahadah. Apabila seseorang bermujahadah untuk mencari keridhaan Allah
SWT, maka Allah berjanji akan menunjukkan jalan kepadanya untuk mencapai
tujuannya tersebut.
3.1.2.
Objek
Mujahadah
Secara
terperinci, objek mujahadah ada enam hal :
1. Jiwa
yang selalu mendorong seseorang untuk melakukan kedurhakaan atau dalam istilah
Al-Qur’an fujur.
2. Hawa
nafsu yang tidak terkendali, yang menyebabkan seseorang melakukan apa saja
untuk memenuhi hawa nafsunya itu tanpa memedulikan larangan-larangan Allah SWT,
dan tanpa memedulikan mudharat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Manusia memang memerlukan hawa nafsu, bahkan manusia tidak dapat bertahan hidup
kalau tidak memiliki hawa nafsu (nafsu makan, minum, seks, mengumpulkan harta, berkuasa
dan lain sebagainya) tanpa kendali akan merusak manusia itu sendiri.
3. Setan
yang selalu menggoda umat manusia untuk memperturutkan hawa nafsu sehingga
mereka lupa kepada Allah SWT dan untuk selanjutnya lupa kepada diri mereka
sendiri. Banyak cara yang di lakukan oleh setan untuk menggoda umat manusia,
baik dengan cara menjungkir-balikkan nilai-nilai kebenaran, mencampuradukkan
hak dan batil, maupun dengan mankut-nakuti manusia untuk menyatakan kebenran.
4. Kecintaan
terhadap dunia yang berlebihan sehingga mengalahkan kecintaan kepada Akhirat,
padahal keberadaan manusia di dunia hanya bersifat sementara, secara individual
sampai maut datang menjemput, dan secara umum sampai kiamat datang. Kehidupan
abadi adalah kehidupan di Akhirat.
Kecintaan yang berlebihan kepada dunia menyebabkan
orang takut mati, dan selanjutnya tidak berani terjun ke medan jihad berperang
melawan musuh.
5. Orang-orang
kafir dan munafik yang tidak pernah berpuas hati sebelum orang-orang yang
beriman kembali menjadi kufur. Allah SWT menyatakan :
“Sebagian besar Ahlul Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata
bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS.
Al-Baqarah 2: 109.)
6. Para
pelaku kemaksiatan dan kemungkaran, termasuk dari orang-orang yang mengaku
beriman sendiri, yang tidak hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga
merugikan masyarakat. Perbuatan mereka dapat mengganggu dan menghambat orang
lain melakukan ibadah dan amal kebajikan. Untuk itulah orang-orang beriman
diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan nahi munkar, disamping amar
ma’ruf.
3.1.3.
Cara
Mujahadah
Secara
garis besar ada tiga cara mujahadah.
1. Sebagai
landasan teoritis, berusaha sungguh-sungguh.
2. Melakukan
amal ibadah praktis yabg diruntunkan oleh Rasulullah saw untuk memperkuat
mental spiritual dan meningkatkan semangat juang untuk menghadapi semua
tantangan.
3. Yaitu
jihad, mulai dari jihad dengan harta benda, ilmu pengetahuan, tenaga, sampai
kepada jihad dengan nyawa (perang fi sabilillah).
Demikianlah,
barang siapa yang bermujahadah pada jalan Allah SWT, maka Allah akan memberikan
hidayah kepadanya.
4.1.1.
Pengertian
Syaja’ah
Syaja’ah
artinya berani, tetapi bukan berani dalam arti siapa menantang sisapa saja
tanpa memedulikan apakah dia berada di pihak yang benar atau salah, dan bukan
pula berani memperturutkan hawa nafsu. Tetapi berani yang berlandaskan
kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Keberanian tidaklah ditentukan oleh
kekuatan fisik, tetapi ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa.
Betapa banyak orang yang fisiknya besar dan kuat, tetapi hatinya lemah,
pengecut. Sebaliknya betapa banyak yang fisiknya lemah, tetapi hatinya seperti
hati singa.
4.1.2.
Bentuk-bentuk
keberanian
Keberanian
tidak hanya ditunjukkan dalam peperangan, tetapi juga dalam berbagai aspek
kehidupan. Berikut ini beberapa bentuk keberanian yang disebutkan oleh
al-Qur’an dan sunnah :
1. Keberanian
menghadapi musuh dalam peperangan (jihad fi sabilillah). Seorang muslim harus
berani terjun ke medan perang menegakkan dan membela kebenaran. Dia harus terus
maju sampai menang atau mati syahid. Tidak boleh mundur atau lari meninggalkan
medan, kecuali mundur untuk bergabung dengan pasukan (Islam) lain, atau sebagai
bagian dari siasat peperangan.
2. Keberanian
menyatakan kebenaran (kalimah al-haq)
sekalipun di hadapan penguasa yang zalim.
Kebenaran
memang harus disampaikan sekalipun mengandung resiko. Resikonya akan lebih
besar lagi kalau yang dihadapi adalah penguasa yang otoriter, yang menganggap
semua kritik adalah pembangkangan. Menghadapi penguasa seperti itu diperlukan
keberanian.
3. Kebenaran
untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia mampu melampiaskannya.
4.1.3.
Sumber
Keberanian
1. Rasa
takut kepada Allah SWT
2. Lebih
mencintai akhirat daripada dunia
3. Tidak
takut mati
4. Tidak
ragu-ragu
5. Tidak
menomorsatukan kekuatan materi
6. Tawakal
dan yakin akan pertolongan Allah
7. Hasil
pendidikan
4.1.4.
Jubun
atau penakut
Lawan
dari sifat Syaja’ah adalah jubun, yaitu penakut. Takut menghadapi musuh, takut
menyatakan kebenaran, takut gagal, takut menghadapi resiko dan
ketakutan-ketakutan lainnya. Penakut adalah sifat yang tercela, sifat
orang-orang yang tidak benar-benar takut kepada Allah.
5.1.1.
Pengertian
Tawadhu’
Tawadhu’
artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati
tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong
menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah
diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam
praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya di hadapan
orang lain, tetapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri.
Sikap
Tawadhu’ terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran
akan Kemahakuasaan Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk
lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.
Orang
yang Tawadhu’ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang
cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan
kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT.
5.1.2.
Keutamaan
Tawadhu’
Sikap
Tawadhu’ tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah dia akan
dihormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul
dengannya. Bahkan, lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah SWT semakin
tinggi.
5.1.3.
Bentuk-bentuk
Tawadhu’
Sikap
Tawadhu’ dalam pergaulan bermasyarakat dapat terlihat antara lain dalam
bentuk-bentuk berikut ini :
1. Tidak
menonjolkan diri dari orang-orang yang level atau statusnya sama, kecuali
apabila sikap tersebut menimbulkan kerugian bagi agam dan umat Islam.
2. Berdiri
dari tempat duduknya dalam satu majelis untuk menyambut kedatangan orang yang
lebih mulia dan lebih berilmu daripada dirinya, dan mengantarkannya ke pintu
keluar jika yang bersangkutan meninggalkan majelis.
3. Bergaul
dengan orang awam dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari mereka.
4. Mau
mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya.
5. Mau
duduk-duduk bersama fakir miskin, orang-orang cacat tubuh, dan kaum
dhu’afalainnya, serta bersedia mengabulkan undangan mereka.
6. Tidak
makan dan minum berlebihan dan tidak memakai pakaian yang menunjukkan kemegahan
dan kesombongan.
5.1.4.
Takabur
atau Sombong
Lawan
dari sikap Tawadhu’ adalah takabur atau sombong, yaitu sikap mengganggap diri
lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu orang sombong akan menolak
kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang statusnya dia anggap
lebih rendah dari dirinya.
5.1.5.
Bentuk
–bentuk Takabur
Kesombongan
dapat terlihat dari sikap dan kata-kata dengan alas an yang berbeda-beda. Para
wanita misalnya, menyombongkan kecantikannya, orang-orang kaya menyombongkan
harta kekayaannya, para pemimpin menyombongkan pengikutnya yang banyak, bahkan
para penjahat pun menyombongkan kejahatan dan kemaksiatan yang dilakukkannya.
Berikut
ini adalah beberapa contoh bentuk-bentuk kesombongan dalam pergaulan
bermasyarakat :
1. Kalau
mendatangi suatu majelis, dia ingin dan senang kalau para hadirin berdiri
menyambutnya.
2. Kalau
berjalan, dia ingin ada orang yang berjalan di belakangnya, untuk menunjukkan
bahwa dia lebh hebat dan lebih mulia dari yang lainnya.
3. Tidak
mau mngunjungi orang yang statusnya lebih rendah dari dirinya. Dan dia tidak
suka kalau orang yang dianggap rendaha statusnya itu duduk berdampingan
dengannya atau berjalan disisinya.
4. Merasa
malu dan hina mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan kalau berbelanja tidak
mau membawa sendiri barang belanjaannya karena akan merendahkan derajatnya.
Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga
bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti,
dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan
kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Wabillahi taufik
walhidayah wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Yogyakarta, 9 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment