Monday, 11 January 2016

Akhlak Pribadi




KATA PENGANTAR
           
 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Akhlak Pribadi II yang berisikan Iffah, Mujahadah, Syaja’ah, dan Tawadhu’ ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. Edy Musoffa selaku Dosen mata kuliah Agama Islam STMIK AMIKOM yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Akhlak Pribadi yaitu Iffah, Mujahadad, Syaja’ah, dan Tawadhu’. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Yogyakarta, 9 Oktober 2015






BAB I
PENDAHULUAN

1.1.1.      Latar Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya, karena agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia memiliki pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia. Dalam makalah yang kami buat kali ini akan membahas tentang Iffah, Mujahadah, Syaja’ah, dan Tawadhu’.

1.1.2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah “Akhlak Pribadi”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1.      Iffah
2.      Mujahadah
3.      Syaja’ah
4.      Tawadhu’






BAB II

2.1.1.      Pengertian Iffah
Secara etimologis, ‘iffah adalah bentuk masadar dari affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik.
Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya.
Oleh sebab itu, untuk menjaga kehormatan diri tersebut, setiap orang haruslah menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang oleh Allah SWT. Dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya.
2.1.2.      Bentuk-bentuk Iffah
Al-Qur’an dan hadistmemberikan beberapa contoh dari iffah sebagai berikut :
1.      Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual, seorang muslim dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan pakaiannya. Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan.

2.      Untuk menjaga kehormatan diri dengan hubungannya dengan masalah harta, Islam mengajarkan, terutama bagi orang miskin untuk tidak merendahkan tangan meminta-minta. Al-Qur’an menganjurkan kepada orang-orang berpunya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap iffah mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 273 :
(Berfikirlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kayak arena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkah di jalan Allah maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

3.      Untuk menjaga kehormatan diri dalam dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain kepada dirinya, seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk ketidakjujuran. Sekali-kali jangan dia berkata bohong, ingkar janji, khianat dan lain sebagainya.

3.1.1.      Pengertian Mujahadah
Istilah mujahadah berasal dari kata jàhada-yujàhidu-mujàhadah-jihàd yang berarti mencurahkan segala kemampuan (badzlu al-wus’i). dalam konteks akhlaq, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun yang eksternal.
            Untuk mengatasi dan melawan semua hambatan (internal dan eksternal) tersebut diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan yang sungguh-sungguh itulah yang disebut mujahadah. Apabila seseorang bermujahadah untuk mencari keridhaan Allah SWT, maka Allah berjanji akan menunjukkan jalan kepadanya untuk mencapai tujuannya tersebut.

3.1.2.      Objek Mujahadah
Secara terperinci, objek mujahadah ada enam hal :
1.      Jiwa yang selalu mendorong seseorang untuk melakukan kedurhakaan atau dalam istilah Al-Qur’an fujur.

2.      Hawa nafsu yang tidak terkendali, yang menyebabkan seseorang melakukan apa saja untuk memenuhi hawa nafsunya itu tanpa memedulikan larangan-larangan Allah SWT, dan tanpa memedulikan mudharat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Manusia memang memerlukan hawa nafsu, bahkan manusia tidak dapat bertahan hidup kalau tidak memiliki hawa nafsu (nafsu makan, minum, seks, mengumpulkan harta, berkuasa dan lain sebagainya) tanpa kendali akan merusak manusia itu sendiri.


3.      Setan yang selalu menggoda umat manusia untuk memperturutkan hawa nafsu sehingga mereka lupa kepada Allah SWT dan untuk selanjutnya lupa kepada diri mereka sendiri. Banyak cara yang di lakukan oleh setan untuk menggoda umat manusia, baik dengan cara menjungkir-balikkan nilai-nilai kebenaran, mencampuradukkan hak dan batil, maupun dengan mankut-nakuti manusia untuk menyatakan kebenran.

4.      Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan sehingga mengalahkan kecintaan kepada Akhirat, padahal keberadaan manusia di dunia hanya bersifat sementara, secara individual sampai maut datang menjemput, dan secara umum sampai kiamat datang. Kehidupan abadi adalah kehidupan di Akhirat.
Kecintaan yang berlebihan kepada dunia menyebabkan orang takut mati, dan selanjutnya tidak berani terjun ke medan jihad berperang melawan musuh.

5.      Orang-orang kafir dan munafik yang tidak pernah berpuas hati sebelum orang-orang yang beriman kembali menjadi kufur. Allah SWT menyatakan :
“Sebagian besar Ahlul Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah 2: 109.)

6.      Para pelaku kemaksiatan dan kemungkaran, termasuk dari orang-orang yang mengaku beriman sendiri, yang tidak hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat. Perbuatan mereka dapat mengganggu dan menghambat orang lain melakukan ibadah dan amal kebajikan. Untuk itulah orang-orang beriman diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan nahi munkar, disamping amar ma’ruf.



3.1.3.      Cara Mujahadah
Secara garis besar ada tiga cara mujahadah.
1.      Sebagai landasan teoritis, berusaha sungguh-sungguh.
2.      Melakukan amal ibadah praktis yabg diruntunkan oleh Rasulullah saw untuk memperkuat mental spiritual dan meningkatkan semangat juang untuk menghadapi semua tantangan.
3.      Yaitu jihad, mulai dari jihad dengan harta benda, ilmu pengetahuan, tenaga, sampai kepada jihad dengan nyawa (perang fi sabilillah).
Demikianlah, barang siapa yang bermujahadah pada jalan Allah SWT, maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya.

4.1.1.      Pengertian Syaja’ah
Syaja’ah artinya berani, tetapi bukan berani dalam arti siapa menantang sisapa saja tanpa memedulikan apakah dia berada di pihak yang benar atau salah, dan bukan pula berani memperturutkan hawa nafsu. Tetapi berani yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan.
            Keberanian tidaklah ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa. Betapa banyak orang yang fisiknya besar dan kuat, tetapi hatinya lemah, pengecut. Sebaliknya betapa banyak yang fisiknya lemah, tetapi hatinya seperti hati singa.

4.1.2.      Bentuk-bentuk keberanian
Keberanian tidak hanya ditunjukkan dalam peperangan, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Berikut ini beberapa bentuk keberanian yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah :
1.      Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan (jihad fi sabilillah). Seorang muslim harus berani terjun ke medan perang menegakkan dan membela kebenaran. Dia harus terus maju sampai menang atau mati syahid. Tidak boleh mundur atau lari meninggalkan medan, kecuali mundur untuk bergabung dengan pasukan (Islam) lain, atau sebagai bagian dari siasat peperangan.

2.      Keberanian menyatakan kebenaran (kalimah al-haq) sekalipun di hadapan penguasa yang zalim.
Kebenaran memang harus disampaikan sekalipun mengandung resiko. Resikonya akan lebih besar lagi kalau yang dihadapi adalah penguasa yang otoriter, yang menganggap semua kritik adalah pembangkangan. Menghadapi penguasa seperti itu diperlukan keberanian.

3.      Kebenaran untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia mampu melampiaskannya.

4.1.3.      Sumber Keberanian
1.      Rasa takut kepada Allah SWT
2.      Lebih mencintai akhirat daripada dunia
3.      Tidak takut mati
4.      Tidak ragu-ragu
5.      Tidak menomorsatukan kekuatan materi
6.      Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah
7.      Hasil pendidikan

4.1.4.      Jubun atau penakut
Lawan dari sifat Syaja’ah adalah jubun, yaitu penakut. Takut menghadapi musuh, takut menyatakan kebenaran, takut gagal, takut menghadapi resiko dan ketakutan-ketakutan lainnya. Penakut adalah sifat yang tercela, sifat orang-orang yang tidak benar-benar takut kepada Allah.



5.1.1.      Pengertian Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya di hadapan orang lain, tetapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri.
Sikap Tawadhu’ terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan Kemahakuasaan Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.
Orang yang Tawadhu’ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT.

5.1.2.      Keutamaan Tawadhu’
Sikap Tawadhu’ tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah dia akan dihormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya. Bahkan, lebih dari itu derajatnya di hadapan Allah SWT semakin tinggi.

5.1.3.      Bentuk-bentuk Tawadhu’
Sikap Tawadhu’ dalam pergaulan bermasyarakat dapat terlihat antara lain dalam bentuk-bentuk berikut ini :
1.      Tidak menonjolkan diri dari orang-orang yang level atau statusnya sama, kecuali apabila sikap tersebut menimbulkan kerugian bagi agam dan umat Islam.
2.      Berdiri dari tempat duduknya dalam satu majelis untuk menyambut kedatangan orang yang lebih mulia dan lebih berilmu daripada dirinya, dan mengantarkannya ke pintu keluar jika yang bersangkutan meninggalkan majelis.
3.      Bergaul dengan orang awam dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari mereka.
4.      Mau mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya.
5.      Mau duduk-duduk bersama fakir miskin, orang-orang cacat tubuh, dan kaum dhu’afalainnya, serta bersedia mengabulkan undangan mereka.
6.      Tidak makan dan minum berlebihan dan tidak memakai pakaian yang menunjukkan kemegahan dan kesombongan.

5.1.4.      Takabur atau Sombong
Lawan dari sikap Tawadhu’ adalah takabur atau sombong, yaitu sikap mengganggap diri lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang statusnya dia anggap lebih rendah dari dirinya.

5.1.5.      Bentuk –bentuk Takabur
Kesombongan dapat terlihat dari sikap dan kata-kata dengan alas an yang berbeda-beda. Para wanita misalnya, menyombongkan kecantikannya, orang-orang kaya menyombongkan harta kekayaannya, para pemimpin menyombongkan pengikutnya yang banyak, bahkan para penjahat pun menyombongkan kejahatan dan kemaksiatan yang dilakukkannya.
Berikut ini adalah beberapa contoh bentuk-bentuk kesombongan dalam pergaulan bermasyarakat :
1.      Kalau mendatangi suatu majelis, dia ingin dan senang kalau para hadirin berdiri menyambutnya.
2.      Kalau berjalan, dia ingin ada orang yang berjalan di belakangnya, untuk menunjukkan bahwa dia lebh hebat dan lebih mulia dari yang lainnya.
3.      Tidak mau mngunjungi orang yang statusnya lebih rendah dari dirinya. Dan dia tidak suka kalau orang yang dianggap rendaha statusnya itu duduk berdampingan dengannya atau berjalan disisinya.
4.      Merasa malu dan hina mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan kalau berbelanja tidak mau membawa sendiri barang belanjaannya karena akan merendahkan derajatnya.
Penutup

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Wabillahi taufik walhidayah wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.


Yogyakarta, 9 Oktober 2015


No comments:

Post a Comment